Rabu, 05 Juni 2013

Ulama Aceh Kecam KAYA yang Menuding Intoleransi Beragama Meningkat di Aceh

Foto


Banda Aceh-KemenagNews (28/5/2013) MESKI kehidupan Beragama di Aceh selalu rukun dan damai, tapi tetap saja berbagai tuduhan tak henti-henti menghantam Aceh. Kali ini, tuduhan terhadap Aceh datang dari Juru Bicara Komunitas Aceh untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (KAYA), Affan Ramli sebagaimana dipublis oleh berbagai media massa online lokal dan nasional.
Affan Ramli menilai kekerasan atas nama agama meningkat di Aceh dan mengaitkan beberapa kasus kekerasan di Aceh dengan fatwa Majelis Permusyawaran Ulama (MPU) Aceh. Terhadap tudingan ini, Ulama Aceh mengecam pernyataan KAYA.
Kecaman tersebut disampaikan Sekretaris Jendral Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk.H.Faisal Ali. Menurutnya, yang terjadi di Aceh bukan kekerasan atas nama agama yang meningkat, melainkan penodaan terhadap syari’at dan aqidah Islam yang meningkat, lebih-lebih lagi pasca Tsunami menghantam Aceh bebebara tahun yang lalu”, jelas ulama muda yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh ini,
Tgk.H.Faisal Ali menjelaskan, “mengusung kebebasan setiap keyakinan bertentangan dengan UUD 45 yang melarang penodaan terhadap ajaran sebuah agama”.
Ia mempersilahkan siapapun mengembangkan agama dan keyakinan sesukanya seperti yang terjadi di Amerika dan Eropa, tapi jangan menodai agama Islam, tegasnya.
Tgk.H.Faisal Ali yang berbicara atas nama HUDA menjelaskan, ungkapan Affan Ramli, juru bicara KAYA sangat tidak akurat dan asal-asalan.
Sebagaimana dikutip dari The Globe Journal yang mengutip berbagai media online nasional, KAYA lewat juru bicaranya Affan Ramli di Jakarta mengatakan bahwa kekerasan atas nama agama meningkat di Aceh. KAYA memberi contoh diantara kasus kekerasan tersebut yaitu yang terjadi di Ujong Pancu (Aceh Besar), Lamteuba (Aceh Besar), Ateuk Lam Ura (Aceh Besar), Suka Damai (Banda Aceh), Guhang (Aceh Barat Daya), Nisam (Aceh Utara), Blang Bintang (Aceh Besar), dan Kuta Binjei Julok (Aceh Timur). Kemudian, komunitas Laduni (Aceh Barat) dan Mirza Alfath (Aceh Utara).
Kementerian Agama yang bekerjasama dengan MPU dalam beberapa kasus di atas telah melacak validasi aliran sesat tersebut. MPU misalnya telah memutuskan aliran Laduni di Aceh Barat bertentangan dengan agama Islam karena menurut pengakuan pengikutnya, keyakinan mereka telah menyimpang dari Islam berdasarkan 13 ciri-ciri aliran sesat yang telah ditetapkan MPU, misalnya, penganut aliran Laduni dikabarkan meyakini tidak wajibnya shalat Zuhur dan Ashar, begitu juga shalat Jumat. Setelah ulama terlibat, pengikut ajaran Laduni akhirnya kembali dalam pangkuan Islam.
Sementara dalam kasus Mirza Alfath, dalam berbagai pengakuannya di Facebook, Mirza Alfath saat itu menyatakan telah keluar dari Islam. Mirza Alfath juga mendukung penjajahan Yahudi atas umat Islam di Palestina serta berbagai hujatannya bagi umat Islam di Aceh yang statemen-statemennya di Facebook telah didokumentasikan oleh berbagai kalangan di Aceh.
Setelah kasus yang menimpanya, yang bersangkutan telah meminta maaf atas hinaan-hinaanya kepada umat Islam serta kembali dalam pengkuan Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan para ulama di Lhokseumawe (##)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar